Inikah RencanaNya?

on Selasa, Mei 31, 2011


Hujan membasahi bumi Makassar. Sepertinya ia mulai rindu pada tanah yang mulai terdzolimi. Hujan selalu memberi inspirasi, menguburkan sebagian persepsi bahwa hujan sering kali menggagalkan rencana, menuai bencana, dan lain sebagainya.

Kali ini, hujan dengan lembut mengajakku berjalan-jalan dalam memori…

<<Alkisah, seorang pemuda yang sangat mencintai wanita terkasihnya, walaupun tanpa restu orang tuanya, ia tetap nekat menikahi sang wanita pujaan hatinya. Apakah atas nama Cinta? Selalu begitu, cinta dijadikan tersangka atas pelaku utama yang bernama nafsu. Mengotori kesucian Cinta, itulah siasat setan. Menghiasi nafsu dengan cantiknya, lalu mereka sepakat menyebutnya Cinta. Sungguh keterlaluan setan itu. Mereka tertawa terbahak-bahak ketika anak adam dan hawa mulai sedikit demi sedikit terperosok pada nafsu yang mereka ciptakan, nafsu setan namanya.>>

Merenung saat hujan perlahan membasahi bumi, samar-samar teringat dalam ingatan…
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (An Nisa: 36)


Ayat singkat itu begitu dalam, menyadarkan akan pentingnya berbakti pada mereka, kedua orang tua. Sudahkah kita berbakti? Kata Nabiku, walau seluruh jiwa dan ragamu kau gunakan untuk berbakti pada mereka, sesungguhnya itu belum cukup untuk membayar seluruh pengorbanan yang telah mereka berikan, bahkan belum cukup untuk membayar setetes air susu ibu.

Kembali saya menatap wajah anak itu lekat-lekat, menatap jauh kedalam matanya, saya menemukan dua keraguan…
Apakah Kebencian yang terpendam ataukah rindu akan kasih sayang??

<< Pemuda itu memutuskan pergi setelah akhirnya menjalankan ritual atas nama Cinta. Yah, pecundang yang berkhianat itu akhirnya pergi meninggalkan wanita yang katanya sangat ia cintai hingga rela menentang restu orang tua. Lantas apa alasannya untuk lari dari kenyata’an?>>

Bau tanah yang baru saja dibasahi oleh hujan, kini menyeruak perlahan…

Saya selalu tertarik memandang gadis-gadis yang bertingkah layaknya laki-laki. Ada aura yang berbeda yang terpancar dari cara mereka berbicara, bertingkah, bahkan terkadang dari cara mereka tersenyum. Mereka terlihat cantik dibalut gaya yang maskulin. Tapi, itu dulu, sekarang tidak lagi. Ketika mengetahui akan laknat yang akan menimpa pada mereka(wanita) yang menyerupai laki-laki dan pada mereka(laki-laki) yang menyerupai wanita. Saya tidak lagi tertarik memandang gadis yang sok kelaki-lakian, tidak lagi terkesan tapi saya kasihan.

Namanya iyan. Anak gadis yang mengaku sangat tomboy. Ia baru-baru saja menjadi temanku siang itu. Disiang sehari sebelum hujan membasahi bumi. Sebelumnya, saya tidak pernah menanyakan pertanyaan ini pada mereka yang mengaku tomboy. Baik ketika saya masih tertarik memandang mereka maupun setelah saya tidak lagi tertarik memandang mereka.
“dek, koq mau sih jadi anak cewek yang tomboy?”

Dia menjawab dengan enteng, karena ayahku. Ayahku pergi meninggalkan ibuku sewaktu aku masih dalam kandungan ibuku. Kata ibuku, orangtua ayahku tidak merestui hubungan mereka. Hingga akhirnya ia pergi dan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Walaupun entah mengapa, aku sangat yakin, saat itu ayahku menyadari bahwa wanita yang ia cintai sebenarnya tidak pantas untuk menjadi pendamping hidupnya karena status strata.
Lalu saya mencoba mengulang pertanyaan dengan versi yang berbeda,
“terus koq mau bergaya kayak anak laki-laki, gitu?”

Ia tertawa kecut. Aku seperti ini sebagai wujud pelampiasan akan kebencianku yang begitu dalam pada ayahku. Aku menjadi benci pada SEMUA LELAKI! (saya shock!). aku berharap dengan gayaku yang seperti ini, para lelaki tidak mudah mendekatiku. Kalaupun ada yang berusaha mendekat, aku tidak begitu respect pada mereka.
Saya yang saat itu sedikit terkejut, berusaha untuk meluruskan pemahaman si anak yang sepertinya agak sedikit bengkok.
“Hmm, gitu yah? tapi, mungkin saja ayah kamu punya alasan yang lebih bisa diterima. Sudah coba cari tau, dek?”

Jika ia memang sosok ayah yang bertanggung jawab, seharusnya ia yang mendatangiku dan menceritakan segalanya. Sejak saat ia menghianati ibuku dan pergi layaknya pecundang. Namun, itu tidak terjadi dan sepertinya tidak akan pernah terjadi. Aku menerima kenyata’an ini saat aku masih duduk di bangku SMP. Aku tidak punya sahabat untuk berbagi . aku menjadi liar. Tapi, aku masih punya mimpi. Mimpi sederhana yang akan kutunjukkan padanya juga pada dunia bahwa aku akan berhasil walaupun tanpa seorang AYAH.




Diskusi kami disiang itu saya tutup dengan canda’an garing, “tapi nanti kalau nikah sama cowok, kan?”. Yang ia jawab sambil tersenyum (ciri khas cewek tomboy), “iyalah kak, suatu saat nanti aku mungkin akan jatuh cinta sama cowok”. Teriak saya dalam hati, “hah! Mungkin???” (---.---)a


((Kisah iyan, membuat saya merenung…))

Saya bersyukur tidak mendapatkan ujian yang begitu berat seperti yang iyan derita. Saya masih memiliki orang tua yang bisa mengantarkan saya ke surgaNya. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan itu. Saya yakin iyan jauh lebih kuat, karena Tuhan tidak pernah memberikan ujian di luar kemampuan HambaNya. Di tengah ujian yang iyan jalani, ia masih yakin akan mimpinya yang tidak lama lagi akan terwujud. Bukankah ini sebuah motivasi yang luar biasa? So, kawan bermimpilah. Hidupkan mimpimu, jangan hidup bersama mimpi-mimpi…