No, I really don't think so

on Selasa, Oktober 25, 2011
huwayeh? fine? great!

uda pernah dengar lagu-lagunya Zee Avi? keren deh suaranya... ^^
ehm,eh..eh.. saya baru abis buat puisi nih, tolong di cela ya! huhu. kejudoz!


We have a little bit secret,
Don't let the autumn knows,
until the last leaf fall from the last tree,
We have a little bit secret,
Don't let the sun knows
until the light of the sun through the silent street of the silent city
we are watching the sun go down in a beautiful  autumn
your obscure smile is skech on grey clouds
Do you still remember our little bit secret?
I'm waiting your answer while I drink up my coffee at the corner of silent street
No words out by your mouth till the dark twilight accost our kingdom
The more you close the more I can't touch you.

 (( I dedicated to Prof. Dr. Rahayu))

****


Jadi gini loh, kmaren teman saya tuh curhat tentang teman-temannya yang katanya uda nggak pernah calling-calling dia lagi. huft! pokoknya dia yang sampe "murka" banget gara-gara itu. yah, saya sebagai "tong sampah" yang baik dan akhir-akhir ini suka pengen ngunyah permen karet hanya bisa ngomong "looking for wan hundrid and one reason why they never call you again". susah? JELAS! orang kalo lagi es-mosi susah buat positip tingking. Nah! mungkin ada baiknya kalo kamu es mosinya lagi berdiri, segera buat duduk, belum reda juga? berbaringlahhhh, trus bobo deh! hmp hmp hmp ^^v


Filosofi Gula-Gula Karet

on Minggu, Oktober 23, 2011

Saya termasuk makhluk yang sebal pada banyak hal. namun, kesebalan saya cukup beralasan. misalnya: saya merasa sebal ketika para ababil dengan hobinya ngebut-ngebut di jalan raya tanpa menggunakan sabuk pengaman, eh salah ding! maksudnya tanpa menggunakan helm. bukannya kenapa-kenapa, saya sebagai kucing solehah dan memiliki jiwa penolong layaknya pahlawan bertopeng sangat khawatir jika tiba-tiba saja mobil truk yang guede nyambar waktu si ababil-ababil lagi ngebut trus jatoh trus kepalanya kelindas gitu, kan nggak lucu aja kalo' saya musti mungut-mungutin bola mata ato ngumpulin isi-isi otak yang berserakan di aspal. -,- (sudah bisa ngebayangin, kan? OMG! sungguh sangat tidak lucu!). nah! buat "orang tua labil" yang notabene suka ngebut-ngebut juga trus nggak pake helm, insaflah! udah saatnya ngasi contoh yang baik dan benar buat para ababil-ababil yang budiman. okeh? okeh? *tooosss*

Rasa sebal saya yang kedua jatuh pada kebiasaan para penjual yang suka ngasi kembalian pake permen. Moso’ bayarnya pake duit, kembaliannya pake permen, sehhh??? Kalo’ di supermarket-supermarket gedhe saya jarang nemuin yah, dan kalopun ada yang kayak gitu, itu biasanya karena bener-bener nggak punya duit receh. Tapi di warung-warung kecil uda mulai sering kayak gitu. (kalo' di warung-warung kecil kan recehannya suka ada banyak kan, ya?) Mending kalo’ penjualnya nanya dulu ke pembeli, “mau nggak kembaliannya pake permen aja?” (walopun saya sebenarnya sering mo nolak, tapi buntut-bubtutnya kagak jadi. -,-), tapi kenyataannya banyak yang nggak pake nanya, langsung ngasi kembalian pake permen! Lucunya nih, beberapa pembeli juga nerimo-nerimo aja kalo’ dikasi kembalian pake permen. Nggak pake complain, seakan itu adalah sebuah pemakluman yang nggak tertulis. Hmmm! saya sih nggak papa yah kalo’ someday ini jadi budaya baru kita, asalkan bisa sedikit lebih adil, ngebayarnya juga pake permen!!! :p

Ngemeng-ngemeng soal permen, akhir-akhir ini saya jadi kangen banget buat ngunyah permen karet. Satu hal yang bisa buat saya –entah mengapa- jadi lebih pede buat menghadapi dunia setelah ngunyah permen karet(ahaha, agak sarat dusta). Bagian klimaks dari proses memakan permen karet adalah ketika rasa manis dari permen karetnya uda mulai hambar trus permennya uda mulai agak kenyal-kenyal ketat gitu(susah jelasinnya =,=a) trus uda bisa masukin udara di dalamnya, ntar bisa jadi tiruan balon gitu. Selain itu, dengan sedikit permainan lidah kita bisa nyiptain bunyi-bunyi yang bisa buat manggil ojek dari jarak 10 meter(ahahaha). Love it!!! Mungkin karena saking sibuknya(eaaaa) saya jadi suka lupa buat singgah di warung dekat rumah cuman sekedar mo nanyain “jual permen karet Big Bubble, nggak?”. Kenapa cuman sekedar mo nanyain aja? Soalnya saya lebih sering nemu permen Relaxa ato Kopiko di beberapa warung yang saya temui. (basa basi, basi!!!) -,-'

Hump, lalu apakah keberadaan permen karet mulai dipertanyakan? Aahhh, kenapa harus dipertanyakan? Makanan ini senantiasa menjaga eksistensinya dari jaman orde lama, orde baru, reformasi hingga jaman demokrasi(wohoho!sok tempe! :p). Rasanya yang manis dan murah tentu saja menjadi perhatian oleh penduduk dunia! Khususnya dunia preman dan dunia orang-orang yang malas gosok gigi!!(hmp,hmp,hmp). Jaman duluuuu banget(yang pasti jaman sesudah masehi), 100 rupiah itu uda bisa dapat 4 buah permen karet yang bentuknya kayak kelereng gedhe dengan warna-warni yang menggoyahkan iman(ahaha,lelelelelebai). Permen ini unik deh! Kenapa unik? Karena permen ini nggak akan habis kecuali kita dengan sengaja menelannya(yaeyalah, namanya aja karet!). Hmm, lalu… Siapa sih penemu Gula-Gula Karet? Yang pasti bukan saya. Sumpah!! ^^v



Akhir kata, gula-gula/permen itu di ibaratkan manusia yang cute, flexible, cheerful (seperti saya misalnya) dan karet itu di ibaratkan sifat slow coach/orang yang suka terlambat (seperti saya lagi misalnya). well, nobody's perfect right? saya, yang terpaksa harus jujur merasa cukup cute walopun kenyataannya saya memang sering lelet! :p. Yah, Filosofi Gula-Gula Karet saya as simple as that. Bagaimana filosofi gula-gula karet yang kalian punya? Apakah kalian juga teredintifikasi sebagai Gula-Gula Karet? Kalo’ iya, kita buat group di fesbuk yuuuk! Ahahaha, capsuuss…


Heppy naiz wiken fellas!
*kaburdengansalam*
wassalaaammm------

Indah -kamyu- Karena Sastra

on Selasa, Oktober 11, 2011
Apa yang bisa dilakukan senja yang mencintai rembulan,
yang hanya di ciptakan untuk malam?

Kecintaan saya kepada mereka yang mencintai sastra adalah dengan wujud rasa kagum yang mungkin akan membuat saya sedikit tersenyum jika kata-kata sastra yang mereka gunakan itu can touch my heart (gak sedang lebai :p). Keindahan sastra terletak pada kumpulan kata-kata yang tak terbatas akan makna. Makna-makna yang terjalin secara simfoni akan melahirkan kumpulan makna yang menggetarkan qolbu hingga merasuki jiwa-jiwa yang penuh ambisi akan pesona SASTRA. (muahaha, mulai geje)

Yak! Sastra itu bagian dari seni, sastra itu kumpulan kata, kata-kata yang yang sampai ke hati dan membuat kita tergerak(kainda do something). Jadi sastra itu terbagi 2, ada yang imaginative dan ada yang non imaginative. Seperti halnya novel, drama, puisi, cerpen, biografi and menimoh! (kalo mo tau lebih, di buku-buku sastra saya banyak, penjelasannya rinci pula. Hihi). Eh! Blog juga loh, masuk karya sastraaaaa *takut di cium pake ujung sepatu*

Lalu jeng, ada nggak sih hubungannya antara orang yang romantis dengan karya sastra itu sendiri?

Seseorang yang romantis, belum tentu mampu menciptakan karya sastra yang indah(bahkan karya sastra, such as; poem, etc). We can call them fake romantic person.
Namun…Seseorang yang tidak romantis, terkadang mampu menciptakan sebuah karya sastra yang bisa dikategorikan dalam karya sastra yang indah. Maybe we can call them pretend person who doesn’t be romantic. (wow)

Welwelwel, pendapat orang-orang bisa berbeda-berbeda tentang romantis. Ada tuh orang yang dapat predikat romantis hanya karena sering bawa’in kekasihnya bunga,  coklat, fulus, mobil, rumah.... (heaaaa, predikat tajerrr ini mah!),  pendapat lain dari romantis yang sangat well-known  tentunya ROkok, MakaN, graTIS. Entah siapa yang membuatnya, hmphmphmp

#saya mengajak teman-teman blogger untuk kembali melirik puisi di awal postingan ini#
#sudah belom?#

Nah, itu adalah sebuah karya dari seseorang(katanya buatan sendiri, hihi) yang mengaku nggak romantis. Karena dia ngirimnya lewat sms dan karena dia udah telanjur ngaku nggak romantis. Yowes, smsnya berbulan-bulan yang lalu itu saya balas disini aja. (biar berpuluh-puluh pasang mata dari para blogger menjadi saksi atas keromantisan saya, heaa heaa heaa! semoga dia nggak jadi baca :p)

Jika suatu saat nanti…
Kedua mataku tak lagi mampu menikmati indahnya pelangi di malam hari, mengagumi senja di tengah mendung, dan memanjakannya bersama purnama di awal pagi…
Lirihku padaMu…
Biarkan pelangi, senja juga purnama menyampaikan rasa rinduku padanya…


KrisEks

on Jumat, Oktober 07, 2011
bismillah,
met hari jumat epribadih,

saya mencintai sastra,
karena saya memang harus cinta,
saya mencintai karya-karya sastra dan,
mencintai mereka yang mencintai sastra...
sastra memang indah, ia mudah untuk dicintai
 
“Pada saat aku merenungkan masa yang singkat dari hidupku, yang ditelan oleh gelembung besar keabadian; maka ruang sempit yang aku isi, atau apapun yang kusaksikan, nyaris tenggelam dalam ketidakberhinggaan ruang tanpa batas yang sama sekali tidak kukenal, dan yang sama sekali tidak mengenaliku juga. Aku takut dan bertanya-tanya melihatku sendirian disini. Ternyata jauh lebih mengerikan dan mengherankan melihatku disini ketimbang melihatku disana (dalam Keabadian). Tidak ada alasan sama sekali mengapa aku harus berada disini dan bukan disana.” (Pascal—Pengalaman Dasein)

Manusia dikutuk untuk menjadi bebas (condemned to freedom), begitu Jean Paul Sartre mengungkapkan kegetiran hidup dalam diktum filsafat eksistensialismenya. Manusia yang pada satu sisi senantiasa dihadapkan pada pelbagai kemungkinan untuk berkata imposible is nothing, di sisi lain memiliki kebebasan untuk memilih satu opsi kemungkinan dan bertindak. Dengan nalar, naluri, dan norma; manusia boleh memilih untuk berkelahi (fight) atau justru lari (flight) dari bahaya. Kebebasan disini, secara radikal dapat dimaknai juga sebagai ketidakterikatan atas apapun jua, alias usaha yang (mungkin) purna untuk menanggalkan eka dan aneka ketertarikan, pun ketergantungan pada dunia seisinya. Sehingga, ia yang berhasrat untuk bebas seutuhnya, akan sekedar mengarahkan keteracuhan konsentrasi pada perkara yang benar-benar diperlukan bagi penghidupannya (omne ens bonum : apa yang ada, sejauh ada, baik adanya -- Aquinas). Hanya mengejar apa yang musti dikejar, karena insting dan kompromi akal amat determinan sifatnya dalam ruang kesadaran.

Perwara tulisan di atas, bahwa we are condemned to freedom, penulis sematkan sebagai simpul awal alur diskusi perihal sakit “terasing” atas eksistensi dari masing-masing wadah dan jiwa, tiap nalar, naluri, serta nurani pada diri penulis juga pembaca dalam takdirnya sebagai manusia. Kemudian, dengan potongan prosa Pascal pada perwara tulisan, kiranya kesepahaman bahwa yang penulis dan pembaca diskusikan saat ini ialah lokus aliran filsafat eksistensialisme yang berbicara mengenai ragam berfikir dari suatu kajian filsafati, perihal hakekat keberadaan manusia, bukannya eksistensialisme aras seni ala pemberontakan van Gogh, Picasso, atau Cesanne. Guna mempermudah pembacaan, penulis menampilkan dua contoh fiktif, yang semoga mengantarkan benak pada rantai “Ada”, “Tiada”, dan “Menjadi” yang terkadang prosesual sifatnya, namun acapkali juga dipahami sebagai elan yang berjalan terpisah.

Contoh pertama diperankan oleh sang pangeran kegelapan dari Hoghwarts yang juga kompatriot sekaligus kompetitor Harry Potter, yakni Tom Mavoldo Riddle alias Lord Voldemort. Dalam cerita, manusia berparas tirus laiknya ular ini lebih familiar dipanggil dengan nama ganti “You Know Who”. Terjemah  literer Indonesianya adalah “Kau Tahu Siapa” dengan tanda seru (!) dan bukanya tanda tanya (?). Alasan yang dipaparkan secara eksplisit oleh J.K. Rowling (penulis novel Harry Potter) ialah bahwa menyebut Voldemort dengan nama aslinya adalah terlarang, karena mengundang celaka. Orang akan begidik mendengar namanya disebut oleh karena tak terhitungnya rekor kejahatan sihir yang ia telah torehkan, sehingga gelar lain pimpinan penyihir jahat ini bertambah dengan “ia yang namanya tak boleh disebut”. Konon, Lord Voldemort akan mendatangi manusia yang berani menyebut langsung namanya (njangkar : Jawa), alias tidak sopan; untuk kemudian ia bunuh via mantra “avada kadavra”, atau disiksa dulu dengan mantra crutiatus.

Amsal fiktif kedua adalah sosok manusia yang dianggap Ada-nya berbanding sejajar dengan Tiada-nya (wujuduhu ka’adamihi); dalam arti kehadiran (presence) dan ketidakhadirannya (absence) bernilai sama di mata dunia. Misalnya tokoh Smeagol dalam trilogi Lord of The Rings, makhluk bangsa Gollum yang pada awalnya sekedar figuran dari plot. Dengan kontur wajah, jenis suara, dan bentuk tubuh yang (menurut dunia) mengerikan juga menjijikkan, fungsi Smeagol ibarat catatan kaki dalam memberi keterangan penjelas pada variabel karangan, jadi boleh tidak diperhatikan - cum - tidak wajib diperhatikan.

Inferensi dari contoh khayali pertama adalah sosok manusia yang senantiasa dianggap “Ada”, dan “Hadir” dimana-mana dan kapan saja (omnipresent). Meskipun semua faham dan mengerti bahwa setiap wadag terikat ruang dan waktu, namun secara fantastis, Rowling menggambarkan bagaimana akutnya persepsi warga sihir dalam karya kesusasteraannya. Pada dimensi waktu, Lord Voldemort diasumsikan sanggup meruang dalam jaman (sinkronik; syn: bersama, chronos: waktu) sekaligus berpijak melaluinya (diakronik; dia: melewati, chronos: waktu).
Dalam dunia nyata, kita mengalami bagaimana rasa kehilangan atas kematian Putri Diana begitu kolektif, seakan mantan istri Charles yang dari Wales itu tak lain tetangga sedusun kita di bumi Indonesia. Andil media dengan hegemoni wacana yang sifatnya massal, terbukti sanggup mendesain kesadaran sebagian besar umat manusia menjadi duka yang mendunia. Dari sini, eksistensi Voldemort juga Diana ada dan hadir dalam daftar kesadaran masing-masing masyarakat pendukungnya, baik yang fiktif (yakni masyarakat sihir untuk Voldemort) dan yang non-fiktif (untuk Lady Diana).

Sementara untuk misal kedua, kita disuguhi sebentuk ironi kehidupan; mengenai pengakuan yang minimalis dari dunia atas keberadaan, kehadiran, dan kenyataan yang meskipun manifest “Ada”-nya, namun belum layak dianggap “Ada”. pengakuan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang variatif bentuk dan sifatnya. Walaupun Smeagol, tokoh yang pada ujung cerita (ternyata) nyaris merebut “cincin” dari Frodo Baggins ini sangat menonjol dalam hal ke-tidakwajar-annya (freak); dimana saat ia berjalan dan bergerak, terkadang menyerupai merayapnya binatang melata, terkadang juga bak makhluk dari ordo primata (monyet). Tetapi, karena logika yang terpakai di dunia Lord of The Ring adalah jahat (komplotan Saruman) dan baik hati (Gandalf cs), maka Smeagol yang berkepribadian ganda itu terpasung di tengahnya, dan alasan inilah yang (menurut penulis) membuatnya tersisih. Untuk dunia nyata, kita kerapkali menemui tragedi seperti ini. Dalam kelas kuliah, yang “Ada” adalah Dosen, si pintar di bangku depan, mahasiswa vokal, trouble maker  yang kalo tidak clometan  ya tidur, serta anak manusia yang senyumnya masyaAllah menawan di pojokan belakang. Sedangkan para pendiam, dengan tampang pas-pasan, IQ menengah, dompet juga pas-pasan; hanya berperan sebagai bingkai dari lukisan utama. Sama seperti Smeagol, takdir serba pas-pasan tersebut menempatkannya menjadi semacam footnote dari alinea-alinea inti perkuliahan. Kehadiran maupun ketidakhadiran penghuni kelas menengah ini sama saja, karena tidak memberi pengaruh pada corak dan arahnya perkuliahan.

Pada titik inilah penyakit krisis eksistensi mulai menggejala. Ibarat ungkapan kefakiran mendekatkan orang pada kekafiran, maka Ada-nya Aku yang telah di-Tiada-kan, Menjadi-kan Aku mengalami krisis eksistensi. Dalam arti, si muka pas-pasan yang pendiam, IP-nya standar, tidak kaya, dan tidak pernah punya masalah dengan dosen – perdata maupun pidana, bukan aktivis HMJ, Senat, BEM dll; karena jengkal ke-Diri-annya telah dinegasikan oleh lingkungan hidupnya, maka suatu saat ia akan menjumpai virus yang lebih parah daripada flu babi, bernama krisis eksistensi. Namun, paparan panjang penulis ini tidak lantas berlaku mutlak. Maksudnya, bukan tidak mungkin bagi seseorang yang berada di puncak (kejayaan, kekayaan, kepopuleran, kegantengan, kepandaian, kecantikan, kekuasaan, etc), untuk tidak mengalami krisis eksistensi.

Adapun, efek dari krisis diri ini beragam variannya, sebagaimana petikan lagu berikut:

“Somebody else, round every one else. You’re watching you back, like you can’t relax. You’re trying to be cool, you look like a fool to me…… I see the way you’re acting like you’re somebody else gets me frustrated… Honesty and promise me. I’m never gonna find you fake it…. Dressed up like you’re something else. Where you are and where it’s at you see. You’re making me. Laugh out when you strike your pose. Take off all your preppy clothes. You know, you’re not fooling anyone. When you’ve become” (Avril-Complicated).

Jadi, apakah Anda tengah berperilaku laiknya somebody else, misalnya berpenampilan emmo supaya bisa nampak gothik bak Evanescence? Kacamata fake ala Pasha Ungu, and another bullshit? Ruang kontemplasi pada benak pembacalah yang berhak menghakimi.


created by: Big Mouth a.k.a Arif Subekti